Telah dibaca oleh: 74310 orang.Aso, Asa, Asal dan Esa
Dikarang oleh : Abraham Ilyas
Antara aso, asa, asal dan esaKembali ke asaYou do not know where will you go, if you do not know where are from (maaf ini ungkapan orang bijak siapa, lupa..!) Urang nan ba asa
Dari mano asa palito
Dari telong nan batali
Dari mano asa niniak kito
Dari puncak gunuang Marapi
anak urang batang Antokan pai manggaleh ka Koto Tuo daulu asa urang tanyokan kini pitih nan paguno aso hilang, duo tabilang
(mati terkubur, menang ternama) Putus asa, sesuatu yang harus dihindari
. Dalam bahasa percakapan orang Minang Kabau, bilangan pertama diucapkan dengan sebutan aso selanjutnya duo, tigo, ompek ...dst.
Logika berbahasa orang Minang Kabau mengatakan bahwa, bilangan aso akan memunculkan bilangan duo, tigo dst..
2. Selanjutnya aso itulah yang menjadi asa atau asal dari segala etongan kehidupan berbudaya orang Minang Kabau.
Etongan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi hitungan. Kata etongan bermakna luas pula. Kata ini dalam percakapan sehari-hari secara spesifik sering diganti dengan kali-kali. Inilah yang disebut logika, yang aslinya dari bahasa asing, logics. Maksudnya agar kita hendaklah memakai tanda kali atau tanda-tanda berhitung atau perhitungan ketika mencari alasan kalau hendak memutuskan segala sesuatunya. Perhitungan sangat penting ketika dunia semakin sempit dan terbuka. Kejahatan dan kebaikan tidak lagi terlihat berbeda secara kasat mata, bahkan sering melakukan aktivitas bersamaan. Nan baiak ditarimo jo mufakat, nan buruak ditulak jo etongan. Etongan disini maksudnya logika atau periksa/pareso. Meskipun tampak buruak dalam pandangan manusia, tidak boleh ditulak dengan raso atau nilai perasaan diri-pribadi saja. Suatu ketika di Dubai (kota metropolitan Arab), di flat condominium tingkat 20, saya bersebelahan kamar dan bertanya kepada si Jonikuriack, "where are you come from mister ?" atau bahaso awaknyo asanyo dari maa ? Jawaban si Jonikuriack kepada saya tentang asa ini akan menentukan perasaan (raso) dan reaksi saya kepada si Jonikuriack. Selanjutnya sikap saya kepada si Jonikuriack tentunya akan menggunakan pareso atau fakta-fakta, kondisi dia saat itu. Misalnya kalau si Jonikuriack itu bersuku Malayu-mandailiang (suku saya di ranah, dan orang sekampuang tentunya se niniak dulunya), akan berbeda apabila si Jonikuriack itu bersuku cina, arab atau sebutan suku lainnya di negeri ini meskipun sama-sama muslim dan berasal dari Asia. Jangan, jangan, jar..., jaringan, .., jangan suuzon ah ..! Sikap seperti ini merupakan tafsir saya pada surah at Tahriim (mengharamkan) ayat 6.
3. Menyangkut tentang asal, bukan hanya monopoli kebudayaan Minang saja, bahkan orang arab lebih ekstrim lagi. Orang arab yang mengaku keturunan nabi sangat sangat dihormati di dalam komunitas muslim tertentu, misalnya Agha Khan atau Said. Biasanya orang Minang hanya akan menanyakan aso sampai ke tingkat niniak saja, dan itu sudah cukup menjamin trah seseorang.
4. Catatan: Mirip dengan kata aso, di dalam bahasa Indonesia (tdk berasal dari bhs Minang) ada nilai esa yang maknanya tunggal. Bahasa orang Minang telah ada sebelum bahasa Indonesia dibuat dan disepakati keberadaannya sebagai bahasa persatuan. Mungkin tanpa disadari oleh orang Indonesia, peribahasa aso hilang, duo tabilang dialihbahasakan menjadi esa hilang, dua terbilang Kata esa tidak sama maknanya dengan satu. Sesudah sebutan nilai esa tidak lazim diikuti oleh sebutan bilangan dua, tiga, dst.
Bilangan satu lah yang mendahului keberadaan bilangan dua, tiga, dst.
Oleh karena itu di dalam bahasa Indonesia nilai esa berdiri sendiri dan tidak berhubungan dengan nilai dua, tiga dsb. di dalam hitungan di dunia. Esa hanya digunakan untuk berkeyakinan/iman berketuhanan. Menyangkut manusia yang datang dari asal dan kembali ke asal, agama kita mengajarkan ucapan:
inna lillahi, wa inna ilaihi rojiun, sesungguhnya dari ilah (tuhan) kita datang dan kepadaNya kita kembali. Tapi tidak semua manusia mengerti ucapan ini, karena illah itu bagi mereka tak bisa dibayangkan dan tidak menjadi tuntunan hidup mereka. Oleh sebab itu pantun di atas yang merupakan panduan asul-usul (adat) lebih senang menyebutkan asa niniak kito, bukan asa diri kito. Tentang mitos dari tambo, karangan nenek-moyang yang menyebutkan bahwa mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain, raja dari benua Ruhum tak ada gunanya dihilangkan. Untung saja mereka tidak membuat mitos bahwa mereka keturunan makhluk lain; namanya saja mitos, kecuali kalau kita akan melenyapkan kosakata tambo dan mitos dari perbendaharaan manusia. Yang dilarang dalam agama ialah keyakinan dalam kalimat: anna khoir min hu, yang merupakan pangkal dari segala dosa ! Kalau ado urang yang sering mengucapkan inna lillahi (sesungguhnya kita datang/berasal dari Tuhan), dan niniaknyo indak diakuinyo barasa dari gunuang Marapi, ya boleh saja, tapi bukan urang Minang Kabau namonyo. Sudah bisa dipastikan ketika di gunuang Marapi, niniak muyang orang urang Minang tidak hidup di gua-gua, tetapi di rumah gadang (rumah yang penghuninya hidup di dalam sistem ber-kekerabatan/bukan individual dan yang bergaris seketurunan ibu) Itu pantun adat Minang nan balaku dari daulu sampai sekarang, bukan bukti sejarah yang harus dibuktikan dengan prasasti. Kesimpulan: Bahasa yang menunjukkan bangsa, bahwa orang Minang Kabau lebih dahulu mengenal kata aso daripada kata esa, itulah fakta budaya kita. Syarak mandaki, adat manurun akan tetap berjalan sepanjang masa. Orang Minang Kabau yang suka mengucapkan kato raso jo pareso akan paham semuanya ini.
Salju caie di kota Berlin
Tandonyo semi akan tibo
Di dalam lahie tasimpan batin
Di dalam batin, bahakikat pulo.
|